Gunung ini dijadikan rujukan bagi kekuatan mistik di daerahku. Sayangnya karena fokus pada kekuatan mistik yang digali, keluhuran dan nilai sejarahnya justru terlupakan. Di gunung ini berbagai mitos dan cerita menganai dunia lain terangkum begitu kuat. Gunung ini adalah Gunung Sagara.
Gunung Sagara ada yang menyebut sebagai anak dari Gunung Kumbang, namun ada juga yang menyebut Gunung Sagara adalah Gunung Kumbang itu sendiri. Gunung Sagara sendiri dinamakan demikian karena gunung ini memiliki kesamaan dengan sagara (lautan) yang jika diarungi dengan tidak dengan bijaksana bsa menyesatkan. Ada juga yang menganggap nama sagara berasal dari sebuah danau terpendam yang ada di dalam perut gunung yang sebagian besar hutannya masih alami ini.
Namun ada sebuah alasan lain yang paling masuk akal kenapa gunung ini dinamakan Gunung Sagara. Konon, jika cuaca cerah dan jarak pandangnya memungkinkan, dari gunung ini kita bias melihat Samudra Hindia alias Laut Kidul. Maka tak heran jika tempat ini memiliki tempat yang istimewa dalam khasanak mistik Sunda dan Jawa sekaligus.
Nama Gunung Kumbang sendiri dalam catatan resmi terdapat dalam naskah yang ditulis pada daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari delapan suku kata, dan saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley di Oxfordsejak tahun 1627 (MS Jav. b. 3 (R), cf. Noorduyn 1968:469, Ricklefs/Voorhoeve 1977:181). Yang menjadi tokoh dalam naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari Kerajaan Sunda yang, walaupun merupakan seorang prabu pada keraton Pakuan Pajajaran (ibu kota kerajaan, yang bertempat di wilayah yang sekarang menjadi kota Bogor), lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi. Sebagai seorang resi, dia melakukan dua kali perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke Jawa.
Paling tidak ada dua naskah Sunda yang terkenal, yaitu Sewaka Darma dariKabuyutan Ciburuy, Garut dan Carita Ratu Pakuan, yang menyebutkan sendiri bahwa (isi) naskahnya berasal dari (dan hasil bertapa dari) Gunung Kumbang (1218). Gunung Kumbang masa lampau mungkin adalah sebuah tempat lemah dewasasana, kabuyutan, dan tempat bagi para intelektual masa kerajaan Sunda. Mungkin di sini termasuk pula Gunung Sagara, di mana Gunung Sagara terletak di lereng selatan Gunung Kumbang tersebut.
Penuh Mitos dan Tempat Pemujaan
Gunung Sagara yang sekarang telah sangat kental dengan mitos dan tempat pemujaan. Mitos terakhir yang pernah menggegerkan adalah longsornya lereng di Marenggeng. Pada tanggal 6 Februari 2008 terjadi tanah longsordi Dukuh Marenggeng, Desa Sindangwangi, yang menelan korban jiwa sebanyak tujuh orang dan mengisolasi dukuh tersebut.
Percaya atau tidak, mereka adalah orang-orang yang mencuri arca yang ada di Gunung Sagara. Sebuah tindakan yang sangat ditabukan di sana. Apapun jika ingin dilakukan, maka perijinan dan syarat yang ketat dibutuhkan agar tidak menimbulkan bala. Hingga kini, arca yang mereka curi dibiarkan ada di atas kuburan para korban ini.
Yang paling banyak berkunjung ke Gunung Sagara adalah mereka yang menekuni dunia spiritual. Setiap Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, tempat pemujaan di Gunung Sagara pasti ada pengunjungnya. Di Marenggeng sendiri, ada seorang kuncen yang siap memandu menuju tempat petilasan tersebut.
Yang menjadi mitos turun temurun mengenai Gunung Sagara adalah adanya tempat mengintip neraka sekaligus memuja kekayaan. Konon, ada sebuah lubang yang jika kita melihat kedalamnya, kita mampu melihat gambaran neraka dengan sangat jelas. Tentunya hanya orang dengan keberanian dan sayarat tertentu yang mampu dan boleh melakukannya.
Gambaran mengenai pemujaan untuk mendapatkan kekayaan juga bias dilihat di sana. Jika misalnya kita ingin mendapatkan kekayaan dengan system tumbal maka di sana akan dibahas dengan seksama perjanjiannya. Hal ini termasuk korban mana yang akan diberikan. Jika yang melintas domba kecil, maka itu artinya anak sang pemuja yang disiapkan. Jika yang melintas domba betina maka artinya istri si pemuja yang harus direlakan. Begitu seterusnya.
Menariknya yang dijadikan perumpamaan adalah binatang domba, sesuatu yang sangat mirip dengan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Tentu saja konteks dan tujuan dari keduanya sangat berbeda.
0 komentar:
Posting Komentar